Selasa, 06 Juni 2017



Sedikit membual di tengah hawa panas bulan siyam. Ditemani lembaran lembaran kertas yang menyajikan beberapa kisah heroik. Bukan,  puluhan mungkin, mungkin ratusan atau lebih, kisah kaum akademisi di masa silam. Di jaman ketika belum bisa melakukan Ping!!, apalagi saling mention. Di jaman dengan segala keterbatasan, dengan segala kekurangan tapi entah bagaimana bisa melakukan hal yang luar biasa.
Dari sejak era pra proklamasi, hingga pascanya. Sebelum saat ini. kaum muda akademisi atau yang lumprah di sebut mahasiswa, mempunyai andil yang konkrit di lingkungan bangsa dan negara. Bahkan dengannya, rezim yang bertahun tahun bertengger menguasai bumi pertiwi bisa luluh lantak berantakan.
Kampus, oleh masyarakat awam sering kali menganggapnya sebagai perlambang dunia intelektual. Masih sama dengan persepsi bahwa ketika kampus masih tegak berdiri, maka nuansa itelektual masih terus berkecambah, tumbuh dan hidup di lingkungan umat. Tidak bisa dipungkiri, perubahan yang terjadi selalu saja di motori oleh mereka yang disebut mahasiswa. entah perubahan yang bagaimana, yang jelas mahasiswa selalu saja menjadi agent of change sebagaimana dirinya.

Hal hal luar biasa bisa terjadi, seperti reformasi hampir 20 tahun silam. Tidak bisa lepas dari campur tangan, otak mahasiswa yang tergabung dalam wadah kemahasiswaan. Organisasi atau yang sering disebutnya.
Seiring berhilirnya waktu, kondisi jaman yang nekad berubah meskipun masih premature untuk itu. Era organisasi mahasiswa yang kala itu berjaya kian lama kian surut, sepi peminat. Organisasi mulai di jauhi, di cap dengan persepsi radikal. Wadah mulai ciut, kesuksesan agent of change menggiring mahasiswa sekarang untuk lebih fasionabel daripada thinkingabel. Kultur intelektual semacam diskusi, kajian lama kelamaan mulai terasa jenuh oleh mahasiswa.

terkaparnya kultur intelektual di kampus tak pelak lagi turut berimbas terhadap meredupnya nuansa gerakan mahasiswa hari ini, bahkan ada indikasi bahwa mahasiswa generasi sekarang mulai ciut atau mulai tidak bernyali melakukan gerakan penentangan terhadap ketidakadilan di kampus dalam sekala mikro dan di negeri ini dalam skala yang lebih luas. Lalu konsekuensi logisnya adalah semakin tumbuh suburnya para mahasiswa apatis di kampus, mahasiswa yang tidak peduli dengan kondisi kemahasiswaan, mahasiswa yang tidak mau tahu apakah dirinya tertindas atau tidak, yang jelas mereka masih fun-fun saja karena bisa bercanda kesana - kemari di tengah hujan kebijakan dari birokrasi kampus dan pemerintah yang nyata merugikan mahasiswa maupun rakyat. Sangat sederhana untuk menjelaskan sinkronisasi  antara matinya kultur intelektual kampus dan meredupnya gerakan mahasiswa sebab insan yang bisa melakukan perekayasaan di bidang kemahasiswaan adalah insan tercerahkan dan insan tercerahkan tersebut baru bisa terwujud ketika kultur intelektual bisa mapan di setiap kampus. ( http://www.kompasiana.com/enalriam/matinya-budaya-intelektual-kampus_552af3116ea8346657552d10)

untuk saat ini, mungkin akan sulit untuk memaknai arti kata agent of change. Memang ketika pertama kali kuliah, mahasiswa decekoki para pentarnsfer ilmu dengan anggapan bahwa mahasiswa itu punya sifat agen perubahan. Yang membawa perubahan katanya. Tapi itu untuk semester awal, sifat itu pun lama kelamaan luntur seiring tuanya mahasiswa. agent of changed (agen yang dirubah) mungkin tepatnya.
Ketika wadah ini (ORMA:red) mulai di enggani pengusungnya. Mulai di abaikan keberadaanya. Mau di bawa kemana kemahasiswaanmu? Haruskah organisasi ini berjalan dengan kaki sebelah? Compang camping berharap, mengemis meminta di anggap keberadaanya.

Andai esok masih lama,
pastilah kuminta kalian untuk tidur sejenak lagi.
Karena pagi masih terlampau petang bagimu.
Tapi mentari tak ubahnya makhluk.
Ia diminta Tuanya untuk tepat menghangati bumi pertiwi.
Kalian tak mungkin mampu memintakan dirinya sejenak berjibaku dahulu
Agar kalian bisa sekedar berkata siap.

Ohh pagi sudah tiba kawan.

0 komentar:

Selasa, 02 Mei 2017

Author: bapak_poetjoeng


Tut Wuri Handayani
Simbol tanggung jawab kaum pengajar. Sejak bertahun lamanya di bulan mei setiap tahunya, manusia indonesia memperingati Harinya kaum pengajar.
Guru, satu diantara kaum pengajar yang merupakan kebutuhan pokok bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa. Tugas mulia yang Menitik beratkan kepada moralitas, ilmu, serta tingkah laku anak didiknya.

Ada istilah dimana "guru kencing berdiri, murid kencing berlari", istilah menohok bagaikan tamparan keras, bukti tugas sang pengajar tidak bisa diremehkan. 
Adalah beban batin nurani sang pengajar pabila amanah bangsa tidak mampu di penuhinya.

Sebagian dari kita sering mengasumsikan bahwasanya, hidup kaum pengajar itu enak. Setiap pagi menjelang, baju selalu rapi, wangi, rambut klimis. Lalu pergi mengabdi. Kalau dibanding dengan kaum "militari", kontras dengan pengabdianya. Jiwa raga harus selalu siap siaga menjadi tumbal keutuhan bangsa. Adapula kaum berbaju putih suci, kaum penjaga kesehatan masyarakat. Mereka bilang, 24 jam harus siap sedia melayani pasien yang datang mengunjungi, kecuali pas cuti. 
Lalu berbantah bantahan, mengacungkan jari sembarai berasumsi. 
Akulah yang paling rekasa, akulah yang paling menderita.

Kalaupun ditelisik lebih mendalam, dengan nurani sebagai acuan berasumsi. Sang pengajar, dia lah fondasi utama bangsa ini. Tanpa mereka, siapa bangsa ini? Tanpanya, tidak akan ada militari, tidak akan ada mereka yang berdasi, tidak akan ada sang penjaga kesehatan masyarakat. Bahkan, tanpa mereka petani pun bukan siapa siapa lagi.
Berkat keuletan dan dedikasi mereka, tercetaklah embrio embrio calon bupati, calon jenderal bintang 4, calon wakil rakyat, calon camat dan calon calon bidang profesi lainya. 
Dilihat dari jerih payahnya mencetak generasi. Terselip ironi di dalamnya.
Penghidupan yang jauh dari kata layak sering menghinggapi kaum kaum ini. Terlebih bagi mereka yang baru saja tersadar untuk mengabdi. Gaji bulanan hanya menjadi angan angan belaka. Kalau profesi lain, mungkin setiap tanggal muda selalu bahagia melihat transferan. Baginya, amplop putih tiap tiga bulan sudah cukup menghibur hatinya. Sebagai hasil jerih payahnya 6 hari berkorban suara mentransfer pengetahuan untuk anak didiknya. Kalau bidang profesi lain, akhir pekan adalah liburan mengistirahatkan kepala dan tubuhnya. Bagi mereka kaum pendidik, akhir pekan sama saja dengan senin, atau selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu sama saja. Tetap harus berfikir keras, bagaimana anak didiknya bisa mengerti dengan materi yang dibawakannya.

Berbicara anak didik, sang pendidik, meskipun bukan ayah atau ibu kandungnya. Mereka harus mencintai anak didiknya laiaknya anak kandungnya. Sedang tak jarang anak didik bersikap anarki memancing emosi ayah atau ibu nya. Sedang mencubit, atau memarahi untuk kebaikan dirinya sering disalah artikan orang tua si terdidik. Sayang hukum negeri ini tak bersahabat bagi niat suci sang pendidik.
Melihat ironinya hidup sang pengajar, mereka tetap diam, bukan berdemo meminta hak untuk diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Mereka tetap sabar, karena baginya, mengabdi adalah hobi, demi tercapainya cita cita founding father bangsa ini. Mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bangsaku, 
Kaulah naluriku, bagiku engkaulah cita cita luhurku. 
Kemajuanmu, bukti cintaku padamu.
Mengabdi adalah keinginanku
Agar, bangsaku jaya, negeriku mulya
Bersemilah tunas bangsaku, 
Jadikan tekadku sebagai tonggak meraih cita citamu.
Makmurkan negerimu kelak, jayakan bangsamu kelak,

Kalau saja ada DEWAN PERWAKILAN GURU di senayan sana, mungkin kondisi tak seperti ini.
Selamat Hari Pendidikan Nasional guruku. Pengabdianmu, demi bangsaku.

0 komentar:

Minggu, 23 April 2017

Author: bhapak_Poetjoeng

Satu hari setiap tahunnya, masyarakat indonesia disibukan dengan tradisi turun temurun. Bukan perihal kebudayaan lokal, bukan pula kebudayaan religius. Melainkan tradisi berdandan ala kanjeng putri. Ya, masyarakat indonesia saban 21 april selalu dan sudah pasti akan melaksanakan tradisi kartinian. Dimana tradisi ini lebih menjurus pada kegiatan semacam karnaval, lomba, dan sejenisnya yang masih berbau kekartinian. Para wanita berjibaku dengan dandanan lengkap dengan kebaya khas kartini, ada pula si pria berdandan bak pangeran dari jawa.

Menurut sebagian orang yang masih tulus setia menjalani ritual suci tahunan ini, kegiatan kartinian adalah bentuk penghormatan kita terhadap sang emansipator. Berkat jasanya, kaum hawa negeri ini akhirnya di sejajarkan dengan kaum adam.

Kegiatan tahunan ini, tak ubahnya bagai lomba adu make up alias tata rias wajah berikut design busana. Pasalnya yang paling sering dilombakan malah sejenis fasion show. Bahkan bukan itu saja, ada pula sesi tanya jawab semacam lomba pencarian wong ayu sak indonesia, puteri indonesia.

Tragisnya, kegiatan ini selalu saja diadakan mulai dari bocah bocah TK hingga mahasiswa tingkat atas. Bahkan semakin kesini semakin tinggi pula animonya. Semakin meriah, namun tidak tau manfaat dan tujuan perayaan. Bisa bisa yang di tau i hanya perayaannya saja, tanpa tau seluk beluk kenapa ini di rayakan.

Menyoal perayaan yang makin meriah, saya sanksi akan hal ini. Bagaimana mungkin bisa memperingati hari lahir sang emansipator melalui agenda lucu berdandan ala ala an?
Apakah itu bentuk kebahagiaan atas merdekanya kaum hawa atas penjajahan kaum adam?

Kalau memaknai peringatan ini hanya sebatas "merayakan" apalah arti perjuangan kartini di masa dulu? Beliau memikirkan nasib kaum hawa negerinya, agar eksitensi dan peran kaum hawa di akui. Bukan memperjuangkan agar bisa fasion show.

Kalau saja hari ini ibu kita Kartini masih sugeng, mungkin beliau akan menangis tersedu menapaki kenyataan bahwa hari lahirnya diperingati ala ala an.

Sah sah saja memperingati dengan beragam perayaan. Namun alangkah indahnya perayaan yang penuh euforia di rubah dengan kegiatan bernuansa pendidikan, agar nantinya pemikiran berlian sang emansipator mampu menaungi setiap kaum hawa negeri ini. Bukan dengan dandan, masak iya perjuangan sang kartini dibalas dengan lomba dandan??

Wanita,
Selalu saja spesial di mata Nya
Bukan perkara perkasa ototnya
Bukan pula karena cemerlang ide berlianya
Namun,
Air mata, kasih sayangnya yang membuat nya berbeda
Kehangatan, kelembutan, menjadi ciri di sepak terjang hidupnya
Wanita, keberadaanmu mengubah dunia
Kesunyian durjana hampa
Hilang sirna berkat kau ada
Ingatlah wanita,
Engkaulah tiang negara,
Ketika kau lemah, mudahlah negara mu terberangus
Ketika kau kuat, tak mudahlah negaramu koyak
Happy kartini day :)

0 komentar:

Get Updates in your Email
Complete the form below, and we'll send you our best of articles.

Deliver via FeedBurner
TOP